top of page

#MenjagaIndonesia: 75 Tahun Merdeka, Bagaimana Nasib Masyarakat Adat?

18 Aug 20 | 18:19

Amelia Rosary

Pentingnya keberadaan masyarakat adat, terutama selama pandemik

#MenjagaIndonesia: 75 Tahun Merdeka, Bagaimana Nasib Masyarakat Adat?

Pada episode terakhir dari rangkaian 8 webinar #MenjagaIndonesia, IDN Times kembali menghadirkan topik yang tidak kalah menarik. Bersama Nicholas Saputra (Pemain Film Indonesia), Helena Samuel Legi (Ketua Dewan Adat Dayak Penajam Paser Utara), Rukka Sombolinggi (Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), dan Dewi Kanti Setyaningsih (Komisioner Komnas Perempuan/Penganut Agama Sunda Wiwitan), webinar tersebut mengangkat tema “#MenjagaIndonesia: 75 Tahun Merdeka, Bagaimana Nasib Masyarakat Adat?”

 

1. Makam bermenhir dimintai Izin Mendirikan Bangunan

 

Pada perbincangan di sore itu, Dewi Kanti Setyaningsih, selaku Komisioner Komnas Perempuan/Penganut Agama Sunda Wiwitan, bercerita tentang kasus persekusi yang kerap dialami kelompok masyarakat adat. Pada akhir Juli 2020 lalu, peristiwa penyegelan situs makam Sunda Wiwitan oleh Pemda Kuningan Jabar dinilai kurang mengapresiasi keberadaan masyarakat adat di sekitarnya. 


“Para orang tua kami, ‘kan, berpesan untuk mempersiapkan makam. Di satu sisi, kami juga harus menata hati, antara siap dan tak siap, masa itu, toh, tentu akan datang. Ayah kami ingin peristirahatan terakhirnya ada simbolisasi seperti leluhur-leluhur kami. Kami juga tak mengira akan direspon dengan persekusi. Soalnya, lahan yang kami gunakan pun lahan pribadi, biasanya tak pernah ada permintaan izin,” kenang Dewi.

 

Prosesi pemakaman masyarakat adat Sunda Wiwitan diharuskan memakai izin, bahkan mereka sempat dimediasi oleh KOMNAS HAM, melewati berbagai cara yang begitu prosedural. Dewi melanjutkan, “Masa makam diseragamkan? Memang, nisan kami pakai batu menhir一ia memiliki makna yang mendalam, yaitu prinsip kesadaran dan keutuhan sebagai manusia. Buat kami, itu adalah keyakinan, masa harus ada IMB?”

 

2. Lingkungan tempat tinggal masyarakat adat tidak sebatas sebagai spot turisme

 

Perhatian untuk masyarakat adat harus datang dari berbagai pihak. Nicholas Saputra, seorang aktor ternama Indonesia, menyatakan, “Saya yakin bahwa kita sebenarnya mau untuk peduli, kok, hanya saja kita tak tahu seluk-beluk masyarakat adat. Akses ke komunikasi dan edukasi jangan hanya diberikan pada masyarakat adat, tapi itu harus dua arah: kita pun perlu akses untuk mengenal masyarakat adat secara lebih luas.”

 

Untuk menghargai masyarakat adat, Nicholas mengatakan, “Keluhuran yang mereka miliki tentu harus diakui, dihormati. Namun, above all, sebenarnya dengan tak mengganggu saja, kita sudah cukup mengakui dan menghormati eksistensi mereka: bahwa dengan hukum dan adat mereka sendiri, mereka mampu mengolah apa saja yang ada di sekitar mereka.”

 

Pada kenyataannya, di era pandemik ini, masyarakat adat berhasil bertahan hidup secara mandiri. “Dengan panen yang berlimpah ruah, mereka memiliki kedaulatan atas hidup mereka sendiri. Saya yakin bahwa selama ekosistem di sekitar mereka tak digerus oleh pembangunan yang terlalu masif, mereka akan semakin resilient dan sustainable,” ucap Nicholas, menegaskan bahwa kelompok urban harus menyadari peran dari masyarakat adat. 

 

Bukan hanya dari segi pariwisata saja, hal ini rupanya dapat membuktikan bahwa pertanian lokal juga berhasil disukseskan oleh masyarakat adat. “Jadi, kalau ada millennial yang sering mengunjungi spot turisme di sekitar tempat tinggal masyarakat adat dan cuma foto-foto, itu tidak ada makna. Hal yang lebih penting adalah bagaimana kita bertukar informasi, mengikuti kegiatan adat di situ, ketahui kemampuan mereka,” pesan Nicholas.

 

3. Masyarakat urban gantungkan nasib pada masyarakat adat

 

RUU masyarakat adat hal, menurut Rukka, sebagai Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, adalah salah satu yang paling mendesak untuk disahkan. "Sekarang ini, kita sedang rentan krisis, tapi yang paling tak aman saat ini adalah kota-kota besar. Masyarakat adat, seperti petani, nelayan, malah menjadi sosok yang memberi supply ke kota," ujar Rukka. 

 

Kontribusi ekonomi masyarakat adat juga terhitung besar. Ia menambahkan, "Tak bisa sepenuhnya dibenarkan bahwa investor asing akan terus dapat memberi hal positif, progres pembangunan yang masif. Orang segala sesuatu malah dirusak, kok." Itulah mengapa peran selebriti maupun influencers, kata Rukka, menjadi sangat krusial di sini. 

 

Dengan eksposur yang mereka miliki, sosok seperti Nicholas sebenarnya adalah pihak yang mampu menyetir opini masyarakat, pendapat mereka akan dengan mudah didengar. "Sebab netizen harus sadar bahwa UU Masyarakat Adat belum juga disahkan sampai 75 tahun Indonesia merdeka," tandasnya. 

 

Menurut Rukka, memperjuangkan RUU Masyarakat Adat tak hanya menolong keberadaan mereka, namun juga menolong diri kita sendiri. "Bagaimana tidak, udara segar dari hutan yang telah dijaga dan dirawat oleh masyarakat adat dapat pula kita nikmati. Tak hanya itu, masyarakat adat juga mampu menghasilkan bahan pangan dan bahkan sukses menyalurkannya ke kota-kota, terutama selama pandemik berlangsung," ujar Rukka. 

 

4. Ibu Kota Negara dengan nuansa kearifan lokal

Wilayah di sekitar Ibu Kota Negara baru dibabat total untuk pembangunan. Masyarakat adat terpaksa merelakan tanah milik mereka demi kepentingan negara. Janji-janji kemudian dilontarkan oleh pemerintah, berusaha untuk menenangkan kegelisahan masyarakat adat. Helena, Ketua Dewan Adat Dayak Penajam Paser Utara, mengucapkan, "Salah satu contoh saja, awal wacana, sayembara desain IKN (Ibu Kota Negara) dibilang akan memuat kearifan lokal. Setelah pengumuman dilaksanakan, tidak ada satu desain pun yang memuat kearifan lokal."

 

Menanggapi hal tersebut, Helena mengharapkan agar masyarakat adat dapat selalu dilibatkan ke dalam regulasi atau proses pembangunan IKN ke depannya. "Dalam rancang bangun Ibu Kota, kami mau paling tidak ada unsur kearifan lokal. Misal, nuansa Kalimantan Timur secara umum, lalu Adat Paser, juga kearifan lokal Kutai," tutupnya, menegaskan apa yang Nicholas ungkapkan sebelumnya: hanya dengan mengakui eksistensi mereka, kita sudah turut menghormati kelompok masyarakat adat, lho. Tak rumit, 'kan?

bottom of page