top of page

Pengalaman Menjadi Working Dad: Harus Siap Lelah dan Jadi Partner yang Saling Dukung

4 Mar 21 | 18:17

Amelia Rosary

Keterlibatan ayah dorong perkembangan sosial dan emosional anak

Pengalaman Menjadi Working Dad: Harus Siap Lelah dan Jadi Partner yang Saling Dukung

Tulisan ini dibuat oleh Ridwan Hariri, Campaign Associate IDN Creative, untuk program Timmy's Story


Saya percaya, perempuan bukan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab mengasuh anak. Keterlibatan ayah juga dapat membantu mendorong perkembangan anak lebih baik lagi. Namun dalam praktiknya hal ini tentu tidak mudah dilakukan, terlebih di masa pandemik seperti saat ini.

Menjadi seorang working dad di masa WFH ini memberikan saya pelajaran yang berharga. Menjalankan tugas sebagai karyawan di kantor, sekaligus ayah untuk anak saya yang masih bayi bukan hal yang mudah. Manajemen waktu jadi tantangan yang tidak bisa dihindari. Namun, dari situ pula saya belajar untuk mencari titik temu di antara keduanya: menjadi seorang working dad yang dapat memenuhi tanggung jawabnya di kantor sekaligus ikut berperan dalam mengasuh anak.


1. Jadi ayah harus siap lelah

Memiliki lebih banyak waktu bersama keluarga di rumah selama pandemik ini mungkin banyak dibayangkan orang sebagai momen yang menyenangkan. Padahal, memiliki quality time dengan keluarga dapat tercapai jika kita dapat mengelola waktunya dengan baik, tak terkecuali bagi seorang working dad seperti saya.


Jangan salah, manajemen waktu di saat situasi seperti ini bukan berarti harus selalu menyelesaikan semuanya secara on time, lho. Konteksnya harus sesuai. Intinya, tanggung jawab pekerjaan sebagai Timmy IDN Media sekaligus sebagai ayah harus jalan secara seimbang. Mau tak mau, kita memang harus siap lelah, menghabiskan waktu ekstra untuk mengemban kedua tugas tersebut.


2. Bagi fokus dan skala prioritas antara pekerjaan dan keluarga

Pekerjaan yang dilakukan secara virtual dan timeline pekerjaan yang ketat tak disangkal cukup membuat fokus saya terpecah. Ketika sedang meeting atau mengerjakan report, misalnya, anak saya yang berusia 6 bulan terkadang rewel atau bahkan menangis. Tantangan ini semakin terasa karena istri saya tidak sepenuhnya work from home. Saya pun dituntut untuk bisa menjadi multitasking. Meski dibantu oleh ibu mertua di rumah, saya rasa tanggung jawabku sebagai ayah harus “main” di situasi seperti ini, jadi sayalah pihak yang sudah semestinya lebih repot, bukan malah ibu mertua saya yang notabene juga punya kesibukannya sendiri.


3. Pentingnya dukungan dari rekan kerja di kantor

Dalam situasi seperti itu, kunci utama yang selalu saya tekankan adalah keikhlasan dalam membagi fokus dan skala prioritas antara pekerjaan dan keluarga, termasuk anak. Hal ini bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Dukungan dari kolega kita di kantor, termasuk atasan, memang sangat diperlukan di situasi seperti ini.


Oleh karenanya, komunikasi menjadi salah satu elemen krusial untuk merealisasikannya. Misalnya, saya berinisiatif untuk mengadakan 1:1 session dengan atasan guna mengomunikasikan kondisi saya saat ini. Intinya, lebih ke meminta pengertian dan memberi tahu bahwa saya sedang mencari pola yang tepat agar kewajiban saya sebagai Timmy dan ayah dapat terlaksana dengan baik. Ini tak terbatas dilakukan pada atasan saja, ya, tapi juga dengan rekan satu level. 


4. Seperti di dunia kerja, komunikasi dan menjadi partner yang baik itu penting

Pengalamanku sebagai working dad ini cukup memberikan perspektif baru terkait peran suami istri dalam keluarga. Setelah memiliki buah hati, status suami istri yang saya dan pasangan sandang memang masih melekat, but now we function more as partners. Setelah membaca berbagai literasi untuk referensi, rupanya laki-laki pun harus siap sedia untuk ikut turun tangan dalam mengurus keperluan rumah tangga. Saat istri mempersiapkan MPASI, misalnya, saya akan ajak anak saya untuk tidur sebentar. Bila MPASI sudah matang, istri yang suapi, saya yang akan bereskan alat-alat dapurnya. Being partners is about completing each other and being selfless, after all


Memiliki buah hati memang merupakan anugerah terindah dari Sang Pencipta. Namun, fokus pasangan suami istri pun tidak boleh terbatas hanya pada anak saja. Pada dasarnya, perhatian satu sama lain juga diperlukan untuk tetap membuat masing-masing pihak nyaman dan bahagia. Tak hanya pekerjaan, hal yang satu ini juga memerlukan adanya komunikasi dan partnership yang apik. Di malam hari, ketika anak sudah tidur dan pekerjaan sudah beres, saya akan selalu meluangkan waktu untuk bercanda, bertanya mengenai keseharian istri, dan begitu juga sebaliknya. It's done to keep the spark between us two. 

bottom of page