Catatan Kartini IDN Media: Bagiku, “Plus Size” Bukan Halangan untuk Percaya Diri dan Kejar Mimpi
20 Apr 21 | 19:00
Amelia Rosary
Hidup ini keras dan terkadang kesulitan datang silih berganti
Tulisan ini dibuat oleh Anggun Puspitoningrum dari tim IDN Times untuk menyambut Hari Kartini
Kesetaraan, pemberdayaan perempuan. Biasanya, Hari Kartini identik dengan topik-topik semacam itu. Belum banyak topik yang membahas tentang definisi cantik di Hari Kartini. Ya, sudah ada, tapi belum banyak. Bagiku, definisi cantik yang masyarakat konstruksi juga dapat memengaruhi kepercayaan diri seorang perempuan. Sebagai perempuan yang bekerja, jujur saja, aku pernah mengalami krisis kepercayaan diri karena hal tersebut, apalagi aku adalah perempuan “plus size”. Sebut saja begitu.
Dulu, saat sedang mencari kerja, aku mendapat kesempatan untuk menjadi jurnalis lepas di salah satu media digital saat itu. Niat awalnya, sih, coba-coba sembari menunggu panggilan pekerjaan lain, tapi tak disangka, aku malah keterusan dan terpanggil untuk menekuni bidang ini. Rasanya, bidang ini lebih menarik dan menantang bila dibandingkan dengan pekerjaan lain yang harus menghabiskan lebih banyak waktu di balik meja. Suatu saat, aku tersadar bahwa menjadi jurnalis sebenarnya sudah menjadi mimpiku sejak kecil. Tak hanya gemar menulis jurnal harian dan membaca majalah sejak dini, aku juga selalu penasaran tentang bagaimana produk media diproduksi.
Itulah awal mula bagaimana aku terjun ke dunia jurnalistik hingga sekarang. Menjalaninya dengan penuh cinta, menghadapi tiap lika-likunya, manis pahitnya, serta jatuh bangunnya. Namun, sesuatu yang kita cinta sekalipun tentu akan menghadapkan kita pada tantangan. Buatku pribadi, tantangan terbesar yang dihadapi oleh perempuan di lingkungan kerja itu dimulai saat akan memasuki lingkungan kerja itu sendiri. Tanah yang kita injak dan langit yang kita junjung punya nilai-nilai, norma-norma, dan budaya yang menuntut kita menjadi orang ‘’normal’’. Padahal, setiap orang, apapun gendernya, pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, baik lahir maupun batin, jasmani maupun rohani.
Hal itu sudah dapat dilihat saat hendak masuk dunia kerja. Syarat atau ketentuan dari lowongan pekerjaan sudah menancapkan standar kenormalan dan tidak memberikan kesempatan bagi orang yang “tidak normal” melalui poin-poin “penampilan menarik”, “good looking’’, dan "berat dan tinggi badan ideal". Persyaratan yang bias dan mendukung mitos kesempurnaan itu jelas secara sengaja sudah menutup kesempatan bagi calon pelamar, khususnya mereka kaum perempuan, untuk bertumbuh. Syarat tersebut tentu tidak realistis, karena menuntut seseorang memenuhi standar kenormalan yang telah ditentukan. Padahal, orang-orang yang mungkin tak memenuhi standar “kenormalan” itu bisa saja memiliki value, kemampuan, potensi, komitmen, dan tanggung jawab yang sebetulnya bisa dipertimbangkan oleh perusahaan.
Pengalaman seperti itu pernah saya alami, tentu saja. Sebagai perempuan bertubuh “plus size” seperti yang telah saya sampaikan di atas, saya tidak bisa memenuhi syarat standar normal yang sudah mengakar di masyarakat dan digunakan dalam perekrutan karyawan. Jujur saja, aku bahkan pernah mendapat tindakan pelecehan seksual, body shaming, baik melalui tindakan maupun perkataan. Mereka yang melakukan itu justru dari teman sesama profesi dan narasumber. Pada awalnya, aku sempat bingung untuk menyikapi hal itu, jadi aku hanya bisa diam. Pada satu sisi, mereka adalah teman dan relasiku. Artinya, aku harus tetap bersikap sopan. Namun, semakin ke sini, kurasa tidak ada cara lain. Aku harus bersikap tegas dalam menghadapi mereka dan demi melindungi diri. Ya, terkadang bersikap galak itu perlu.
Kemudian, halangan terkait tugas keredaksian juga pernah aku alami. Suatu ketika, liputan atau berita yang sudah kukerjakan tidak boleh dimuat karena ada kepentingan Pak X atau Bu Y. Intimidasi dari narasumber juga pernah aku alami. Berwarnalah hidup menjadi perempuan dalam peran sebagai jurnalis ini. Betapa terlahir, tumbuh, dan berperan sebagai perempuan menjadi pengalaman hidup paling bermakna yang membentuk diriku hingga saat ini.
Saat berperan sebagai perempuan di zaman dinamis ini, kita harus pandai beradaptasi, memposisikan diri, serta berdiri di mana saja dan dalam keadaan apapun. Hidup ini keras dan terkadang kesulitan datang silih berganti. Peranku di dalam keluarga, misalnya, di mana aku terlahir sebagai anak pertama. Saat papaku meninggal dunia, peranku pun kini lebih dari sekadar seorang anak. Meskipun aku seorang perempuan, “bahu” dan “punggung” ini harus lebih kuat. Ada tanggung jawab untuk melindungi ibu dan adik-adikku.
Ceritaku sudah terlampau banyak, ya? Baiklah, akan kusudahi sekarang. Intinya, sebagai perempuan, kita harus membentuk diri kita sendiri menjadi mandiri. Berani dalam mengambil keputusan dan tidak membiarkan diri dikekang oleh norma-norma. Kita perlu menjadi tegas, menjadi seorang pribadi yang secara prinsip tidak punya kewajiban untuk mengikuti garis kehidupan ‘’normal’’ yang telah ditetapkan oleh masyarakat. Ini adalah caraku untuk menjadi diri sendiri, melindungi, mencintai, dan bahkan meminta maaf kepada diriku sendiri. Selamat Hari Kartini, perempuan hebat!