top of page

Cerita Kartini IDN Media: Terima Kasih, Tuhan, Aku Perempuan Tangguh

21 Apr 21 | 12:10

Amelia Rosary

Kesunyian, tangisan, kekerasan, dan ketidakpedulian—hal-hal mengerikan yang dipertontonkan oleh alam selama aku bertumbuh

Cerita Kartini IDN Media: Terima Kasih, Tuhan, Aku Perempuan Tangguh

Tulisan ini dibuat oleh Ayu Ermalia dari tim IDN Times untuk memperingati Hari Kartini


Aku tidak mengenal Kartini, jadi aku tak tahu betul bagaimana beliau yang sebenarnya, yang seutuhnya. Selama ini, aku hanya dapat mendengar dan membaca kisahnya, kemudian meneladani sosok Kartini yang selama ini dielukan sebagai pahlawan kesetaraan gender.  Oleh karenanya, tanggal 21 April, yang merupakan tanggal lahir dari perempuan asal Jepara, Jawa Tengah tersebut, juga ditetapkan sebagai Hari Kartini untuk mengenang perjuangannya dalam kesetaraan gender. Namun, bukankah masa Kartini dan masa kita sekarang sudah sangatlah berbeda? Mungkin, kita ini lebih pantas disebut sebagai Kartini millennial. 


Ngomong-ngomong soal Hari Kartini, aku memutuskan untuk mengangkat sudut pandang profesional dari seorang perempuan. Dulu, jurusan yang aku ambil sama sekali tak memiliki keterkaitan dengan ilmu jurnalistik. Namun, entah apa mau Tuhan dengan menempatkanku di pekerjaan semacam ini. Sesuatu yang sangat menantang dan aku cintai pada akhirnya. Betul saja, aku jadi semacam rindu pada kepanikan, saat-saat aku menunggu tanpa kepastian, pulang larut malam hanya untuk mendedikasikan semua waktu dan konsentrasiku untuk memproduksi satu berita saja. Hal-hal kurang menyenangkan itu sempat aku khawatirkan, tapi siapa sangka kini malah jadi teman paling akrab?


Meski kebebasan berekspresi dan berpendapat di IDN Media selalu dijamin, sebagai seorang jurnalis di IDN Times Hyperlocal Bali, aku dituntut untuk bekerja menurut seperangkat kode etik, di mana segala tindakan yang kita lakukan harus profesional. Kalau dipikir, perempuan sebagai pekerja profesional itu sama dengan kompleksitas. Harus diakui, kita adalah makhluk unik yang bisa super simpel atau malah super ribet. Apalagi perempuan pekerja lapangan sepertiku.


Haduh, pekerjaan lapangan. Cukup menyeramkan! Jujur saja, yang aku temui bukan lagi kata-kata yang meremehkan kemampuanku sebagai perempuan. Lebih dari itu, aku malah sempat mendapat kekerasan seksual, baik secara verbal maupun fisik. Rasanya tak perlu kuekspos secara detail mengenai kejadian itu. Pada intinya, aku pernah ingin menyerah karena kekerasan seksual yang aku pernah alami saat itu. Kepikiran sepanjang waktu, tak menyangka aku bisa mendapatkan kekerasan seksual ketika menjalankan keprofesianku, kecintaanku pada dunia jurnalistik.


Saat itu, aku sempat berpikir untuk menemui psikolog, tapi niat ini urung aku lakukan. Hatiku mengatakan bahwa aku harus menemukan kekuatan pada diriku sendiri. Lama-lama, ada suatu fase di mana aku merasa bahwa kejadian ini terjadi karena suatu alasan―aku bisa lebih berempati, mampu ikut merasakan apa yang narasumberku ungkapkan, meski di sisi lain, kejadian tersebut juga menekan, bahkan mengguncang jiwaku. Ya, dengan tulisan, aku mungkin berkesempatan lebih besar untuk memperjuangkan kehidupan orang lain dan hak mereka, tapi siapa yang memperjuangkan kehidupanmu dan hakku? Inilah kenyataan pahitnya, bekerja sebagai jurnalis harus lapang dada dengan segala risiko yang ada.


Risiko. Risiko itu betul-betul ada. Selama tiga tahun menekuni jobdesc kriminal, aku harus benar-benar menikmati apa yang menjadi kekhawatiranku, ketakutanku. Bukan hanya kekerasan seksual yang aku sebutkan tadi, tapi ada pula risiko lain yang harus aku tanggung ketika aku teguh menyajikan berita yang akurat, sesuatu yang sesungguhnya terjadi di balik layar. Namun, aku tenang, sebab Tuhan Maha baik, Dia akan berjalan bersamaku, melindungiku di tiap perkara. Itulah mengapa aku menyebutkan, menjadi jurnalis juga harus ada keikhlasan dalam berkarya. 


Banyak sekali hal baru yang aku alami semenjak menjadi seorang jurnalis. Suka dan duka, buat apa disesali? Toh, aku yang sekarang adalah bentukan dari serpihan-serpihan pengalaman masa lalu. Aku jadi ingat betapa aku membenci kesepian, kesunyian, tangisan, kekerasan, dan ketidakpedulian—hal-hal mengerikan yang dipertontonkan oleh alam selama aku bertumbuh dewasa. Jangan, jangan sampai aku jadi pribadi yang seperti itu. Aku ingin menjadi perempuan yang hangat, bersyukur atas kesanggupan hatiku selama ini. Terima kasih, Tuhan, aku perempuan tangguh. Kesanggupanku itu dari-Mu. Kalau aku tak tangguh, barang kali aku sudah mati.


bottom of page