Mira Lesmana, Angga Sasongko, Nia Dinata, dan Sineas Ternama Lain Isi Diskusi di Hari ke-1 Sundance Film Festival Asia: 2021
23 Sep 21 | 17:13
Amelia Rosary
Dari pendatang baru, hingga jadi profesional yang dikenal banyak orang
Hari ini, 23 September 2021, merupakan hari pertama dari Sundance Film Festival: Asia 2021. Dua diskusi panel, “Indonesian Film Industry from 2016 Boom, Pandemic Era, to Post-Pandemic Potential” dan “Women in Film Industry”, dihadirkan untuk membuka festival ini. Disiarkan langsung melalui TikTok (@SundanceFFAsia), beberapa tokoh ternama dari industri film membagikan pengalaman mereka dalam melewati pasang surut industri film. Di sisi lain, narasumber pada sesi diskusi panel yang kedua mengajak audiens untuk memahami perjalan mereka di industri film sebagai perempuan dan bagaimana mereka bekerja di sebuah lingkungan yang didominasi oleh pria.
Pada hari ini, Sundance Film Festival: Asia 2021 juga mengadakan Virtual Film Screenings yang menayangkan dua film pilihan, yaitu Try Harder! dan Passing. Try Harder! menceritakan kisah para senior di Lowell High School bersaing untuk mendapatkan hadiah utama, yaitu diterima di universitas impian mereka. Kemudian, Passing bercerita tentang dua perempuan African-American dan kehidupan mereka selama era segregasi di New York pada tahun 1920-an.
1. Kebijakan resmi untuk bantu bangkitnya film Indonesia
Tokoh-tokoh ternama dalam industri film, seperti Mira Lesmana (Founder Miles Films), Angga Sasongko (Founder Visinema Pictures), dan Chand Parwez Servia (Presiden Direktur Starvision), turut hadir dalam diskusi panel dan membagikan cerita mereka saat melewati masa booming industri film, juga saat melewati situasi pelik yang diakibatkan oleh masa pandemik ini, hingga persiapan yang dilakukan oleh para pelaku di industri film pasca pandemik nanti. Setelah Presiden Joko Widodo membuka Daftar Negatif Investasi Indonesia, investor asing mulai berinvestasi pada film-film Indonesia untuk beberapa sektor, termasuk cabang bioskop baru dan produksi.
“Kurang lebih 20 tahun lalu, proses pembuatan film di Indonesia itu terbilang rumit. Kami terlalu fokus pada angka dan tidak begitu fokus pada kualitasnya. Film yang kami produksi pun relatif sedikit dan distribusi film di bioskop masih sangat memerlukan improvisasi. Karena faktor-faktor tersebut, pembajakan film pun meroket saat itu, mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan yang pada akhirnya dapat membantu industri film Indonesia untuk bangkit kembali. Pembangunan bioskop mulai masif, produk film dilindungi oleh hak cipta. Hal ini tentunya mendorong para pembuat film untuk memproduksi lebih banyak film dengan kualitas yang lebih baik. Dari situ lah semuanya dimulai,” ujar Chand.
2. “Berkomitmen” untuk menonton film
Di tahun 2016 sampai awal 2020, penonton film Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan, namun semuanya terhenti setelah COVID-19 menyerang. Untungnya, Indonesia telah kembali mulai membuka bioskop pada bulan September ini karena jumlah kasus COVID-19 harian di Indonesia yang sudah menurun. “Bioskop wajib menjalankan protokol kesehatan. Ini bagus, mengingat tidak ada yang bisa menggantikan pengalaman di bioskop: pengalaman sinematik yang dirindukan oleh banyak orang. Ditambah lagi, di bioskop, kita tidak mengenal retensi. Iya, yang kita tahu adalah, kita berkomitmen untuk beli tiket, nonton film, menikmatinya, be present, dan memiliki penilaian tersendiri buat film tersebut. We don't take it for granted and we don’t just skip it ketika kita merasa, ‘Duh, sepertinya gue ngga suka.’ Kita punya komitmen di situ,” jelas Angga.
Menambahkan pernyataan Angga, Mirna berkata, “Satu hal lagi yang perlu kita ingat adalah kemampuan film untuk menciptakan dialog yang sangat kuat. Saya yakin bahwa ini bisa menjadi alat yang penting untuk memperkenalkan audiens muda pada budaya dan perspektif yang harus dipreservasi, menciptakan ruang di mana mereka bisa mendapatkan pemahaman mengenai dunia secara luas. Itu adalah salah satu tugas penting bagi pembuat film: melestarikan ‘sentuhan Indonesia’. Ya, itu adalah elemen yang unik. Namun, di lain sisi, pembuat film tidak bisa melakukannya sendiri. Karena itu, penonton dan negara pun perlu mendukung hal ini. Kita harus bersinergi.”
3. Dari pendatang baru, hingga jadi profesional yang dikenal banyak orang
Pembuat film Nia Dinata (Berbagi Suami), penulis skenario Gina S. Noer (Habibie & Ainun), produser Susanti Dewi (Moammar Emka's Jakarta Undercover), Sue Turley (SVP XRM Media), dan Amanda Salazar (Head of Programming and Acquisitions of Argo) ikut bergabung dalam perbincangan hari ini. Sesi ini membawa audiens untuk memahami perjalan mereka di industri film sebagai perempuan dan bagaimana mereka bekerja di sebuah lingkungan yang didominasi oleh pria. Mereka turut membagikan pengalaman mereka saat pertama kali mendatangi industri perfilman, sampai akhirnya mereka dapat menjadi profesional yang dikenal oleh banyak orang.
“Saya pernah menjadi Business Development di sebuah perusahaan media televisi. Saat itu, saya tak sengaja menyaksikan proses editing sebuah serial film. Tiba-tiba saya menangis dan berpikir, 'How on earth could we do this whole complicated, yet beautiful process?' Saya adalah tipe orang yang fokus pada proses, jadi saya tidak pernah merencanakan masa depan saya. Namun, saya ingat betul, saat itu adalah pertama kalinya saya menyadari apa yang saya inginkan: saya ingin menjadi seorang produser. Saya memberi tahu hal ini pada senior saya dan, untungnya, dia mau membantu saya untuk menemukan akses menuju ke sana,” kenang Santi, yang merupakan lulusan Studi Prancis.
4. Mengatasi tantangan berbasis gender
Pada tahun 2000, Nia menginisiasi Kalyana Shira, sebuah yayasan yang bertujuan untuk mendemokratisasi akses ke pendidikan film yang berkualitas. “Sejarah film adalah sejarah yang bertahan. Kami berkomitmen untuk mendukung kepercayaan kami ini secara nyata. Slot murid perempuan di Kalyana Shira adalah 70 persen dan 30 persen untuk laki-laki. Kami ingin memberdayakan perempuan di industri ini dan memberikan akses pada setiap mereka. Misal, kalau kamu detail-savvy, jadi asisten produksi saja dulu. Lalu, kalau kamu ingin terlibat sebagai pelaku dalam proses pembuatan film, coba buat film pendek yang mind-blowing,” ujar Nia.
Sue dan Amanda percaya bahwa perempuan masih “kurang terwakili” di lingkungan kerja, terlebih di dalam industri film. “Kamu tidak akan tahu kemampuan perempuan kalau kamu saja bahkan tidak memberikannya kesempatan untuk melakukan apa yang mereka mau,” tegas Sue. Sependapat dengan pernyataan Sue, Amanda berkata, “Dunia ini memang sudah menjadi tempat yang lebih baik bagi perempuan. Ini juga berkat perempuan-perempuan sebelum kami yang telah memperjuangkan kesetaraan dalam industri ini. Kuncinya ada pada funding yang berfokus pada perempuan. Pendanaan yang tersasar dapat menyediakan kondisi kerja yang lebih aman, menghasilkan lebih banyak peluang untuk berkolaborasi, memperkuat suara perempuan, dan membantu mereka dalam mengatasi tantangan berbasis gender yang menghambat kemampuan mereka untuk bekerja di lapangan.”
5. Menyaksikan Try Harder! dan Passing, film pilihan Sundance Film Festival
Menyelenggarakan Virtual Film Screening, Sundance Film Festival: Asia 2021 mempersembahkan Try Harder! dan Passing. Try Harder! karya Debbie Lum ini bercerita tentang para senior di Lowell High School, sebuah SMA negeri di San Francisco, yang sudah mulai stres saat tengah mempersiapkan aplikasi mereka ke perguruan tinggi. Dengan sentuhan humor, sutradara Debbie Lum membawa kita ke realitas proses aplikasi perguruan tinggi di Amerika dan bagaimana ras serta kelas sosial dapat mempengaruhi kesempatan pendidikan seseorang.
Selanjutnya, Passing, bercerita tentang kisah teman masa kecil dengan ras campuran yang bertemu kembali pada saat dewasa. Mengambil latar New York tahun 1929, keduanya menjadi semakin dekat, saling memahami hidup dan insecurity masing-masing. Sementara Irene diidentifikasikan sebagai African-American dan menikah dengan dokter kulit hitam, Clare, di sisi lain, “lulus” sebagai kaum kulit putih dan menikah dengan pria kulit yang judgmental, namun kaya.