![IDN](https://static.wixstatic.com/media/9258cc_10a2e00d0ba94f77b2d94b1ec687cafe~mv2.png/v1/fill/w_87,h_41,al_c,q_85,usm_0.66_1.00_0.01,enc_avif,quality_auto/9258cc_10a2e00d0ba94f77b2d94b1ec687cafe~mv2.png)
Hari Terakhir Sundance Film Festival: Asia 2021, Diskusi Mengenai Masa Depan Perfilman Asia Tenggara
26 Sep 21 | 18:26
Saraya Adzani
Kita sudah menuju ke arah yang benar, kok!
![Hari Terakhir Sundance Film Festival: Asia 2021, Diskusi Mengenai Masa Depan Perfilman Asia Tenggara](https://server-api.idn.media/img/Hari-Terakhir-Sundance-Film-Festival:-Asia-2021_1636025237926.jpeg)
Hari ini, 26 September 2021, merupakan hari terakhir dari Sundance Film Festival: Asia 2021. Disiarkan langsung di TikTok (@SundanceFFAsia), diskusi panel, “The Future of South East Asia Cinema”, mengundang Malobika Banerji (Content Director, SEA, Netflix), Mikhail Red (Filmmaker and Director), Timo Tjahjanto (Film Director, Producer, and Screenwriter), dan Vanridee Pongsittisak (Film Producer and Director). Rekognisi internasional yang dianggap sebagai salah satu unsur krusial bagi seorang filmmaker, mendorong para panelis untuk mendiskusikan bagaimana sinema di Asia Tenggara dapat bertumbuh di tengah berkembangnya unsur kebudayaan dan segala tantangan yang ada.
Pada hari terakhir Sundance Film Festival: Asia 2021, dua film yang berjudul John and the Hole dan Writing with Fire, ditayangkan. John and the Hole adalah sebuah cerita coming-of-age non-tradisional, sementara itu, Writing with Fire menceritakan realita lanskap berita di India.
1. Memahami OTT
Konten Over-the-Top (OTT) telah ada sejak lama, tetapi akhir-akhir ini, kita seringkali menganggapnya sebagai konten premium. OTT menyediakan konten online yang menawarkan media streaming, yang umumnya diterapkan pada platform video-on-demand. OTT diprediksi dapat menjadi game-changer yang dapat bersaing dengan saluran distribusi media tradisional: selama kita memiliki akses ke koneksi internet, kita dapat mengakses layanan dengan mudah: kapan saja dan di mana saja.
Pandemik COVID-19 menjadi salah satu faktor meningkatnya OTT ini. “Di masa depan, kami percaya bahwa OTT memiliki kesempatan untuk berkembang. Keragaman dan kompetisi mengizinkan kita untuk memahami fakta bahwa pasar, saat ini, sedang berkembang dengan sehat. OTT jelas mewakili masa depan media karena kita pun dimudahkan untuk melewati segala batasan yang ada. Dengan kata lain, OTT dapat membantu kita untuk mendistribusikan karya kita secara lebih merata dan adil. Ia juga dapat mengamplifikasi publikasi karya kita,” ujar Malobika. OTT, menurut Vanridee, merupakan sistem yang mendukung keanekaragaman genre film, terutama di Asia Tenggara. “Tema ringan seperti komedi romantis, entah bagaimana, juga memperkaya genre film universal. Orang tidak mungkin akan menonton film yang serius dan berat sepanjang waktu, bukan?” ujarnya.
2. Kolaborasi di antara para pembuat film di Asia Tenggara
Kolaborasi tentu berkontribusi pada pertumbuhan industri film di Asia Tenggara. “Respon yang beraneka ragam adalah sesuatu yang akan kita temukan di dalam sebuah kolaborasi. Misalnya, proyek film saya, Killers, yang merupakan hasil co-production antara Jepang dan Indonesia. Sangat menarik bagaimana kami, yang berasal dari latar belakang yang berbeda, dapat bekerja sama dan mengatasi semua rintangan bersama-sama. Kami pernah berpikir, 'Siapa yang akan menjadi penonton kami? Apakah kita fokus pada audiens Indonesia, atau audiens Jepang?’ Namun, kolaborasi seperti ini tidak berarti kita harus memberi segmentasi pada penonton. Malah, ini adalah suatu bentuk ekspansi,” jelas Timo.
Menambahkan penjelasan Timo, Mikhail mengatakan, “Jangankan membangun kolaborasi, menginisiasi kreativitas dalam pekerjaan kita sendiri saja sudah cukup menantang, jadi jalani saja. Pasti ada trial and error, tetapi fokuslah pada cara agar kita dapat membuatnya menjadi karya yang one of a kind. Kolaborasi antara negara-negara di Asia Tenggara juga akan banyak membantu. Kita bisa bertukar pengetahuan teknis dan teoritis. Ini tentu akan sangat berarti. OTT, di samping itu, dapat membantu kita mendistribusikan karya kita secara lebih merata dan adil, seperti yang telah disampaikan oleh Malobika. Saya percaya, kita sudah menuju ke arah yang benar, kok.”
3. John and the Hole dan Writing with Fire ditayangkan!
Film pertama yang diputar adalah John and the Hole. Berlatarkan kenyataan hidup yang begitu meresahkan, kisah naratif nontradisional ini bercerita mengenai proses pendewasaan John, seorang anak yang menahan keluarganya di dalam lubang di tanah! Benar, John and the Hole merupakan film thriller yang mengisahkan tentang John, seorang anak yang menemukan sebuah lubang di belakang pekarangan rumahnya. Penemuan lubang itu bukan untuk tempat bermain John, melainkan untuk menyekap ayah, ibu dan saudara perempuannya.
Film kedua adalah Writing with Fire. Di salah satu negara bagian India yang paling patriarki, muncullah sebuah surat kabar yang diinisiasi dan digerakkan sepenuhnya oleh perempuan pedesaan yang tergabung dalam komunitas Dalit. Meera, seorang reporter politik yang populer, memutuskan untuk memperbesar pengaruh media melalui langkah-langkah berani. Hal ini ia jalankan dengan mentransformasi media cetak menjadi sebuah media digital. Kerap kali dicemooh dan mengalami demotivasi, semangat perempuan-perempuan visioner dalam film dokumenter ini begitu besar. Salah satu tujuan terbesar mereka adalah untuk menjadi kantor berita digital pertama di dunia yang diinisiasi dan digerakkan sepenuhnya oleh sekelompok perempuan dari sebuah pedesaan di Dalit.