
Anak Rentan Alami Kekerasan, Ini Hal yang Harus Dipahami Orang Tua
20 Dec 21 | 09:59
Amelia Rosary
Anak rentan terhadap kekerasan di rumah

Masa kanak-kanak adalah saat di mana anak menginternalisasi setiap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Segala peristiwa, termasuk perkataan dan perilaku yang dilihat oleh anak, akan memengaruhi tumbuh kembangnya. Hal ini sangat berkontribusi terhadap kepribadiannya di masa yang akan datang. Satu yang sangat mungkin terjadi adalah kekerasan yang dilakukan orang tua pada anak. Pada Popmama.com Parenting Academy 2021 kali ini, kita mengetahui banyak hal yang bisa membuat orang tua memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan kekerasan. Lalu, bagaimana ya caranya yang tepat untuk menghadapi dan menanggulanginya? Bersama Samanta Elsener, M.Psi. Psikolog, dan Ciput Eka Purwianti, S.Si., MA, yuk, simak beberapa hal penting berikut ini!
1. Anak rentan terhadap kekerasan di rumah
Anak-anak sangat rentan terhadap kekerasan di rumah. Hal itu terjadi karena beberapa faktor dari hubungan orangtua dengan anaknya yang sangat kompleks. Situasi di rumah yang kerap kali hanya mempertemukan anak dan kedua orangtuanya juga berperan. Apalagi, bagi kedua orangtua yang masih belum mampu mengelola emosinya dengan baik. Samanta mengatakan, “Ada banyak faktor. Kondisi finansial itu nomor satu karena anak kerap kali dianggap sebagai beban. Kedua, ekspektasi yang tinggi. Orangtua sering mengharapkan anak untuk cepat bertumbuh. Banyak tuntutan yang tidak masuk akal. Bisa juga karena ada kompetisi dengan orangtua lainnya. Kemudian ada masalah hidup seperti di dunia pekerjaan. Orangtua perlu lebih dewasa dengan tidak melampiaskan emosinya ke anak.”
Lalu, ada juga orang tua yang merasa masa lalunya tidak senyaman anaknya sekarang dan berakhir membanding-bandingkan. Kemudian, ada juga karena cita-cita yang belum tercapai dari sang orangtua, yang akhirnya dilampiaskan ke anaknya. Lalu, ada juga trauma masa lalu dari orangtua. Tentu saja hal-hal ini masih bisa ditiru oleh sang anak pada kemudian hari. Anak akan melihat bagaimana orang tuanya bertutur dan bertindak, itu pasti. Jangan sampai orang tua berkata kasar ke anak. Baiknya, orang tua harus menjadi contoh yang baik untuk mereka mengelola emosinya. Hal itu akan menjadi tabungan yang baik bagi anak ketika dewasa nanti.
2. Dampak kepada kesehatan mental
Kekerasan terhadap anak merupakan salah satu hal yang amat memengaruhi kesehatan mental sang anak. Di usianya yang masih sangat muda, anak tentu belum siap untuk menghadapi kekerasan. Hal ini tentu berakibat pada menurunnya kesehatan dan kondisi mental sang anak. Tak hanya itu, beberapa hal lain juga dapat terjadi karenanya. Samanta menjelaskan, “Anak bisa mengalami kesepian, depresi, kurang percaya diri, interaksi sosial semakin rendah, self-esteem juga semakin rendah, merasa dirinya tidak berharga, mudah terpancing emosinya ketika bersosialisasi dengan teman-temannya, kemudian juga mengalami kerusakan sistem saraf otak.”
Ciput kemudian menambahkan: “Kualitas emosional tiap anak berbeda. Ada yang dirundung secara online saja bisa bunuh diri. Pada saat kami bertemu dengan anak-anak korban, kepercayaan diri mereka benar-benar jatuh dan juga rasa percaya kepada orang lain. Ini perlu waktu saat proses assessment agar mereka berani terbuka dan percaya bahwa informasi yang mereka sampaikan akan didengar dan berguna untuk kasus yang dialami. Selama pandemik, kesehatan mental anak-anak tidak selalu terdampak kekerasan, data yang kami punya, kesehatan mental anak-anak terganggu karena kebosanan yang tinggi, sulit tidur, sulit konsentrasi, dan stres akibat pembelajaran dan tugas yang tidak biasa.”
3. Respon yang harus dilakukan
Merespon hal itu, tentu perlu dilakukan tindakan. Namun, karena minimnya pengetahuan tentang bagaimana cara merespon jika melihat kekerasan terhadap anak membuat banyak pihak memilih untuk diam saat menyaksikannya. Lalu, tindakan tepat apa saja yang harus dilakukan ketika melihat kekerasan kepada anak? Ciput menjelaskan: “Undang-Undang di Republik Indonesia yang melindungi perempuan dan anak sudah menjamin. Untuk kekerasan yang terjadi di rumah tangga, ada Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Nomor 23 Tahun 2007 yang diamanatkan kepada semua termasuk masyarakat untuk melapor yang pertama ke kantor polisi.
Kemudian, untuk kekerasan kepada anak, ini masuk ke dalam Undang-Undang Lex Spesialis. Tidak harus korban yang melapor. Jangan takut soal nanti dituntut pencemaran nama baik karena nanti akan diproses oleh para penyidik. Kemudian, pada awal tahun 2021, sesuai mandat bapak presiden, ada layanan telepon call center 129 yang kami sebut sahabat perempuan dan anak. Saat ini, masih berbayar dengan pulsa. Di sana, ada dua kelompok operator dengan spesialisasinya masing-masing. Kemudian, akan dilakukan assessment singkat mengenai status kondisi korban. Selanjutnya kami akan mengoordinasikan penjangkauan atau pendampingan mulai dari hukum, rehabilitasi kesehatan, dan rehabilitasi psikologis dan psikososial korban bersama Dinas P3A di kota masing-masing sampai kasus selesai secara hukum. Kemudian, juga bisa kirim pesan melalui WhatsApp ke nomor 08111129129. Bisa juga mention media sosial KemenPPPA.
4. Cara melindungi anak dari kekerasan yang terjadi di lingkungan luar
Terakhir, orangtua memiliki peran penting dalam menjaga anaknya dari kekerasan yang dapat terjadi di luar rumah. Berbagai cara dapat dilakukan untuk menyikapinya. Samanta mengatakan: “Caranya yaitu dengan disiplin dan positif. Conscious Parenting, Mindfulness Parenting. Memang sulit untuk dilakukan tapi dampaknya luar biasa. Karena kita bicara penuh kesadaran. Kita mengajarkan anak dengan rasa kesadaran ketika dia melakukan tindakan. Keluarga adalah sistem. Sistemnya dibenahi dulu, orangtuanya ikut berbenah sampai siap untuk welcome ke anaknya sehingga anaknya bisa welcome juga ke orangtuanya.”
Dapatkan informasi terbaru mengenai Popmama.com Parenting Academy (POPAC) 2021 melalui akun Instagram resmi Popmama Parenting Academy dan website popac.popmama.com!