top of page

Ngobrol Bareng Rintik Sedu dan Berbagi Tips untuk Penulis Pemula

23 Sep 20 | 15:00

Amelia Rosary

Kuncinya adalah konsistensi dan jangan berhenti bermimpi

Ngobrol Bareng Rintik Sedu dan Berbagi Tips untuk Penulis Pemula

Terkenal dengan nama Rintik Sedu, Nadhifa Allya Tsana, atau yang lebih akrab dipanggil Tsana atau Paus, hadir menjadi salah satu pembicara di Indonesia Writers Festival (IWF) 2020. Tidak hanya aktif sebagai penulis, Tsana juga aktif membuat podcast, serta memiliki sebuah proyek film layar lebar yang diangkat dari karyanya.


Pada kesempatan ini, Tsana berbagi cerita tentang perjalanannya sebagai penulis. Ia juga memberikan tips bagi para generasi millennial dan z yang ingin mulai menulis dan/atau telah mantap untuk berkarir sebagai penulis. Yuk, kita simak!


1. Berawal dari menulis cerita cinta teman-temannya

Bukan penggemar Bahasa Indonesia. Mungkin kalimat itu telah cukup menggambarkan sosok Tsana beberapa tahun silam. Nilai Bahasa Indonesianya yang bahkan lebih rendah dari nilai Bahasa Inggrisnya membuat Tsana tak ada minat menulis sampai ia duduk di kelas 2 SMP. Ia selalu mengalami kesulitan untuk memahami soal-soal Bahasa Indonesia, hingga suatu hari, gurunya malah memberikannya buku kumpulan sajak ciptaan Sapardi Djoko Damono yang berjudul Hujan Bulan Juni.


“Hari itu sangat mengubah saya. Dengan membaca buku Hujan Bulan Juni, saya jadi paham kalau Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang dekat dengan kita: setiap hari, ia ada di sekitar kita. Seharusnya, Bahasa Indonesia bukanlah sesuatu yang sangat sulit untuk dipahami,” kenang Tsana, mengawali cerita mengenai kesukaannya pada menulis dan membaca.


Lambat laun, ketika minat menulis itu mulai muncul, Tsana pun mengawali karyanya yang terinspirasi dari cerita cinta teman-temannya. Katanya, “Saya mewawancarai ketujuh teman saya. Saat itu, cuma saya yang tidak punya pengalaman percintaan, jadi saya penasaran banget―soalnya, mereka bisa sumringah, lalu sedih, lalu salah tingkah sendiri. Akhirnya, saya meminta mereka untuk bercerita, lalu saya tulis, deh!” 


2. Menuangkan emosi ke tulisan hingga terbentuknya Rintik Sedu

Karena menulis sudah menjadi salah satu bagian dari hidupnya, Tsana lebih sering menuliskan perasaannya ketimbang menceritakannya ke orang lain. Ingin agar karyanya juga dapat dinikmati oleh lebih banyak orang, ia bertekad untuk menciptakan sebuah buku. Dari sanalah, Rintik Sedu lahir.


“Rintik Sedu―saya ingin agar orang-orang yang membaca tulisan saya dapat segera meredakan kesedihannya. Karena ini hanya rintik, bukan hujan, kamu masih bisa terus berlanjut. Sedangkan sedu hadir setelah tangisan, artinya semua kesedihan pasti ada akhirnya,” ungkap Tsana menjelaskan filosofi di balik nama Rintik Sedu.


3. Setiap cerita punya waktu terbaiknya

Menurut Tsana, banyak generasi millennial dan z yang sebenarnya memiliki potensi untuk menulis. Sayangnya, masih banyak dari mereka yang merasa belum menemukan timing yang tepat untuk mengoptimalkan talenta mereka. Sempat menghadapi hal yang sama, Tsana pun membagikan tipsnya, “Jangan pernah memaksa diri untuk menulis. Hal itu malah hanya akan membuat kamu lelah duduk di depan laptop tanpa hasil. Ketika tidak tahu ingin menulis apa, kerjakan saja pekerjaan lain terlebih dahulu. Nanti, kalau tiba-tiba hati dan otak kalian menemukan suatu ilham, itulah apa yang akan kalian tulis.”


Ia juga mengaku sering mengalami writer block. Bahkan, ia sampai tak bisa menghasilkan apapun. Bila hal itu terjadi, ia akan memilih untuk pergi keluar, bertemu dengan orang, ngobrol, ke minimarket, atau apapun yang dapat membuat pikirannya lebih fresh. “Setiap cerita punya waktu terbaiknya untuk hadir, kok, jadi jangan menyerah ya,” pungkas Tsana.


4. Jika ingin berkarier sebagai penulis, konsistensi itu perlu!

Ketika seseorang sudah mulai menekuni karier menulisnya, harapan agar tulisannya dapat terjual ribuan copy atau diangkat ke layar kaca tentu tak akan terbendung. Sayangnya, ketika ekspektasi tersebut tidak terpenuhi, mereka akan berhenti karena kecewa. “Ketika mulai menulis, lupakan dulu hal mewah yang ingin kita capai. Menulislah karena kita ingin. Jadikan menulis sebagai bentuk tanggung jawab diri, toh, keinginan lainnya nanti bisa mengikuti, kok” ujar Tsana menanggapi.


Ia melanjutkan, “Memang tidak ada yang salah dengan harapan tersebut, tetapi ketika hal itu malah berujung menjadi sebuah penghalang, di situlah kita harus sadar bahwa ada mindset di dalam diri kita yang perlu diubah. Esensi menulis adalah untuk menyelesaikan. Nah, dengan mindset seperti itu, kita akan menikmati setiap prosesnya sambil terus konsisten menekuni cita-cita kita,” timpalnya.


5. Banyak kemudahan yang ditawarkan untuk menulis saat ini, mengapa takut mencoba?

Bagi Tsana, karir menulis di era digital dengan perkembangan teknologi yang pesat ini seharusnya memudahkan tiap pekerjaan yang harus kita selesaikan. “Kita dimanjakan oleh berbagai platform untuk menulis. Kita tidak perlu lagi repot-repot untuk print sendiri, lalu dibawa ke penerbit, dan menunggu kejelasan apakah buku kita akan terbit atau tidak. Manfaatkan berbagai platform digital yang ada karena kini menulis bisa kapan saja dan di mana saja,” ujar Tsana.


“Saat sudah mulai yakin untuk menulis, jangan lupa untuk terus percaya pada diri sendiri. Segala mimpi pasti dapat tercapai kalau kita tidak mudah menyerah pada diri sendiri. Take care of yourself, kalian punya banyak waktu untuk mengejar mimpi-mimpi itu dan jangan cepat putus asa,” tutup Tsana sembari memberi semangat.


Rangkaian acara Indonesia Writers Festival (IWF) 2020 masih akan berlangsung hingga 26 September 2020. Masih ada banyak topik-topik menarik seputar dunia literasi yang akan dibahas dalam acara yang mengusung visi "empowering Indonesians through writing". Penonton dapat menyaksikan rangkaian acara Indonesia Writers Festival (IWF) 2020 secara gratis melalui platform YouTube dan Instagram IDN Times.

bottom of page