top of page

“Menurut Lu” Edisi HUT RI ke-75: Rasisme Masih Ada?

18 Aug 20 | 13:14

Amelia Rosary

Duh! Beda warna kulit saja juga jadi korban rasis

“Menurut Lu” Edisi HUT RI ke-75: Rasisme Masih Ada?

“Menurut Lu” adalah sebuah wadah yang disediakan IDN Times untuk menampung suara para millennial dalam menanggapi isu-isu kontroversial yang terjadi. Kali ini, beberapa millennial di IDN Times diundang untuk mengungkapkan opini dan pengalaman mereka terkait diskriminasi rasisme. Ternyata, hal tersebut masih sering terjadi di sekitar kita, lho!

 

1. Rasisme terjadi di lingkungan sekitar

Ketika berteman sudah cukup dekat, kita cenderung memiliki panggilan khusus untuk kawan kita. Panggilan-panggilan tersebut tidak jarang dikaitkan dengan ras seseorang, seperti panggilan “sipit” yang ditujukan pada etnis Tionghoa atau julukan “tukang tambal ban” untuk yang beretnis Batak, mengingat banyak orang Batak di perantauan yang menggeluti profesi jasa tambal ban.

 

Tanpa kita sadari, hal ini menjadi sebuah kebiasaan di dalam masyarakat. Beberapa merasa tidak keberatan dengan julukan-julukan yang teman dekat mereka berikan, namun ada juga yang tidak nyaman dan merasa sakit hati ketika dipanggil dengan julukan yang menggambarkan karakterisrtik ras/etnis mereka. 

 

2. Bentuk rasisme tidak terbatas pada satu aspek

Bentuk rasisme yang terjadi tidak hanya berkaitan dengan ras maupun suku seseorang saja. Ternyata, masih banyak yang mengalami bentuk rasisme karena perbedaan agama, bahkan warna kulitnya. Perbedaan ini terkadang menjadi satu hal mencolok yang dapat menyebabkan seseorang menjadi korban rasisme.

 

“Kalau cewek jadi kayak ada kelompoknya gitu, sih, yang putih terlihat lebih cantik bila dibandingkan sama yang berkulit gelap,” tutur salah seorang Timmy (sebutan untuk karyawan IDN Media), Anastasia Desire, saat menceritakan pengalamannya mengenai ejek-ejekan yang kerap kali ia terima karena warna kulitnya yang gelap.

 

 

 

3. Masih seringnya melabeli seseorang berdasarkan perbedaannya

Adanya perbedaan etnis, ras, agama, dan warna kulit tak seharusnya membuat kita melabeli individu lain dengan karakteristik itu. Nantinya, label seperti ini malah dapat menciptakan gapㅡyang sipit akan cenderung bersatu dengan yang sipit, begitu pula yang berkulit hitam hanya akan berteman dengan yang berkulit hitam saja. 

 

Dari beberapa narasumber yang diundang kali itu, rupanya masih ada yang mengalami diskriminasi. Tak terbatas pada diskriminasi secara verbal saja, seorang di antaranya malah dijauhi oleh teman-temannya hanya karena agama yang ia anut. Wah, jangan sampai jurang pemisah yang sebelumnya telah dibentuk oleh konstruksi masyarakat semakin mengakar di kehidupan Indonesia, ya.

 

4. Perlu adanya kesadaran bahwa perbedaan bukanlah hal yang salah

Rasisme di Indonesia dinilai masih sering terjadi dan membuat adanya gap antar masyarakat. Kalangan muda atau millennial dirasa masih melakukan diskriminasi itu melalui candaan yang dibalut dengan unsur rasisme. Lama-lama, normalisasi akan terjadi: hal tersebut bisa saja dianggap wajar, kita seolah tak peduli bahwa ada pihak yang mungkin merasa tersinggung.

 

Perlu diingat, perbedaan merupakan hal yang selalu ada di sekitar kita sebagai masyarakat Indonesia. Bahkan, semboyan negara “Bhinneka Tunggal Ika” juga menekankan bahwa perbedaan seharusnya menjadi pemersatu, bukan pemecah. Sebagai millennial, kita wajib menjadi agen perubahan agar rasisme di Indonesia, setidaknya, dapat berkurang.

bottom of page