top of page

Hari Ke-3, Puncak Acara dari Sundance Film Festival: Asia 2021

Amelia Rosary

25 Sep 21 | 17:49

Heading 2

IDN Media Jogja 1_edited.jpg

Hari ini, 25 September 2021, merupakan puncak dari Sundance Film Festival: Asia 2021. Acara dibuka dengan diskusi panel pertama yang disiarkan langsung dari Sundance Collab dengan topik “Conversation with Sundance Film Festival: Asia Documentary Filmmakers Followed by live Q&A with Sundance Festival Programmers”, mengundang Sundance Film Festival Senior Programmer, Heidi Zwicker, Sundance Film Festival Director of Programming, Kim Yutani, serta beberapa pembuat film dokumenter, seperti Rintu Thomas dan Sushmit Ghosh (Writing With Fire), Natalia Almada (Users), dan Debbie Lum (Try Harder!). Diskusi panel kedua adalah “Rise of Vertical Cinema” yang mengundang Angga Anugrah Putra (Head of Operations at TikTok Indonesia), Jason Iskandar (Penulis dan Sutradara), dan Salman Aristo (CEO Wahana Kreator Nusantara, Produser, Penulis, dan Sutradara). Disiarkan langsung melalui  TikTok (@SundanceFFAsia), diskusi panel ini membahas hadirnya aspek rasio baru dalam film.


Sundance Film Festival: Asia 2021 juga mempersembahkan Awards Night untuk memberikan penghargaan bagi pembuat film, aktor, dan aktris, yang memberikan dampak signifikan bagi industri film di Tanah Air melalui karya-karya terbaik mereka. Jury Prize untuk Best Short Film dari Kompetisi Film Pendek juga diumumkan pada malam puncak Sundance Film Festival: Asia 2021, yang disiarkan langsung melalui TikTok (@SundanceFFAsia). Sedangkan untuk Virtual Screening hari ini, Sundance Film Festival: Asia 2021 menghadirkan film Luzzu dan Users.


1. Awards Night sebagai momentum untuk memberikan penghargaan bagi 12 tokoh film di Indonesia

Untuk membuka Awards Night, William Utomo, COO IDN Media menyatakan, “Film adalah karya seni yang menekankan nilai-nilai dan emosi yang kita miliki sebagai manusia. Hal ini sangat sejalan dengan salah satu core value dari IDN Media, yaitu diversity dan inclusion. Terima kasih atas kolaborasi dan tekad yang besar untuk maju bersama, untuk membuat industri film di seluruh dunia menjadi lebih baik, terutama di Asia dan Indonesia.” Setelahnya, acara kemudian dilanjutkan dengan beberapa agenda, sebelum dimulainya Awards Night: sebuah momen untuk mengapresiasi pencapaian dan kontribusi para aktor, aktris, sutradara, dan sineas ternama di Indonesia.


Awards Night merupakan momen untuk menghargai 12 figur di dunia perfilman yang telah terpilih, mereka yang berhasil membawa industri perfilman Indonesia ke kancah internasional. Untuk kategori aktor dan aktris, nama-nama yang masuk ke dalam daftar tersebut antara lain: Iko Uwais, Joe Taslim, Julie Estelle, Nicholas Saputra, dan Christine Hakim. Sedangkan untuk kategori sutradara, nama-nama yang terpilih adalah: Edwin, Joko Anwar, Mouly Surya, Timo Tjahjanto, dan Kimo Stamboel, dan dua sutradara pendatang baru Wregas Bhanuteja dan Aditya Ahmad.


2. Pengumuman pemenang untuk Best Short Film!

Jury Prize untuk Best Short Film Competition diumumkan secara live di TikTok (@SundanceFFAsia). Pemenang Jury Prize akan memiliki kesempatan untuk menayangkan film mereka di platform Argo, setelah Sundance Film Festival: Asia 2021 berakhir. Sebelumnya, lebih dari 160 karya film pendek telah diterima, dan 10 finalis yang terpilih adalah: Black Winter (Noviandra Santosa), Diary of Cattle (Lidia Afrilita & David Darmadi), Goodnight, Stargazer (Adriano Rudiman), Jamal (Muhammad Heri Fadli), Makassar is a City for Football Fans (Khozy Rizal), Masa Depan Cerah 2040 (Winner Wijaya), Rendang of Death (Percolate Galactic), Rong (Indira Iman), Srikandi (Andrea Nirmala Widjajanto), dan Sunrise in the Forest (Samuel Ruby).


Setelah melalui berbagai penilaian dan pertimbangan oleh dewan juri perwakilan dari Sundance Institute, IDN Pictures, Argo, dan seorang sutradara film alumni Sundance Film Festival. Penghargaan Jury Prize untuk Best Short Film tahun ini diberikan kepada Makassar is a City for Football Fans oleh Khozy Rizal. Film ini bercerita tentang heteronormativity yang masih mengakar di masyarakat. Di film itu, mayoritas masyarakat masih berpegang pada asumsi bahwa menjadi straight dan cisgender adalah norma yang ideal. Khozy membawa realitas sosial yang terjadi di sekitarnya.


3. Sebuah kisah otentik: universalitas dan momen yang beresonansi dengan banyak orang

Bersama Sundance Film Festival Senior Programmer Heidi Zwicker dan Sundance Film Festival Director of Programming Kim Yutani, turut bergabung Rintu Thomas dan Sushmit Ghosh (Writing With Fire), Natalia Almada (Users) dan Debbie Lum (Try Harder!) dalam perbincangan mengenai pembuatan film dokumenter. Para pembuat film mendiskusikan pengalaman mereka ketika membuat film masing-masing. “Butuh waktu bertahun-tahun untuk melakukan penelitian sebelum membuat cerita. Saya pribadi, 1,5 tahun. Saya selalu percaya bahwa meskipun berlabel dokumenter, hal-hal seperti narasi, plot, teknik, dan detail tetap diperlukan,” ujar Debbie. “Perjalanan masih panjang, jadi kami perlu memberi diri kami kesempatan, terus dan terus. Ketahuilah bahwa itu adalah bagian dari proses,” tambah Rintu.


Film dokumenter menawarkan realitas. Itulah mengapa film dokumenter seringkali dikaitkan dengan unsur-unsur yang thought-provoking. “Poin pentingnya adalah authenticity. Kita perlu menemukan style tertentu dan menggabungkannya dengan cerita yang bermakna,” kata Kim. Menambahkan keterangan pada pernyataan Kim, Heidi menjelaskan, “Kami tertarik dengan ide-ide yang menarik, tak perlu banyak pengalaman. Kami ingin para pembuat film memberi kami kepercayaan diri, meski proyeknya tak fancy sekalipun. Tipsnya, coba ciptakan cerita yang kaya dengan universalitas, detail, momen intim yang beresonansi dengan banyak orang. Jangan tergesa tetapkan target, tapi buat mereka relate terlebih dahulu.”


4. Inovasi akan datang bersama dengan tumbuhnya sinema vertikal

Para pembicara yang diundang, seperti Angga Anugrah Putra (Head of Operations TikTok Indonesia), Jason Iskandar (Penulis dan Sutradara), Salman Aristo (CEO Wahana Kreator Nusantara, Produser, Penulis, dan Sutradara) sepakat bahwa banyak orang mulai mengeksplorasi kreativitas mereka di rasio layar vertikal belakangan ini. “Film vertikal menciptakan pengalaman baru buat kita. Kami melihat film dalam format yang baru dan ini adalah sesuatu yang unik.  Karena itulah, TikTok meluncurkan video berdurasi lebih panjang, yaitu 3 menit, kepada para penggunanya,” kata Angga.


Perangkat komunikasi dengan rasio layar vertikal kini dapat ditemukan dengan begitu mudah. Secara fisiologis, kita pun lebih sering memegang ponsel dengan posisi vertikal. Jason mengungkapkan, “Belakangan ini, orang lebih condong mengkonsumsi konten di ponsel mereka, artinya rasio vertikal ini bisa menjadi pilihan lain untuk mengakomodasi preferensi mereka." Menyetujui pernyataan Jason, Salman menambahkan, “Ya, ada preferensi, kebutuhan, karena adanya layar vertikal. Inovasi untuk mendukung rasio baru ini, saya yakin, akan datang, meskipun kita tidak akan pernah bisa memprediksi inovasi apa yang mungkin terjadi.”


5. Luzzu dan Users ditayangkan!

Film pertama yang ditayangkan pada puncak Sundance Film Festival: Asia 2021 adalah Luzzu. Luzzu bercerita tentang kehidupan seorang nelayan Malta, Jesmark, yang bekerja begitu keras untuk keluarga kecilnya. Suatu saat, ia dihadapkan pada dua pilihan yang sangat membingungkan. Pertama, memperbaiki luzzu-nya yang bocor―sebuah perahu nelayan tradisional dari kayu warna-warni―dengan harapan dapat mencari nafkah di laut untuk kekasih dan putranya yang baru saja lahir, sama seperti yang telah dilakukan oleh ayah dan kakeknya. Pilihan kedua adalah untuk menjual luzzu tersebut, mendapatkan modal untuk bergabung dengan operasi pasar gelap yang mengeksploitasi populasi ikan Mediterania dan mempertaruhkan mata pencaharian keluarga lokal di sana.


Film kedua, Users, menceritakan tentang teknologi yang semakin mendorong seluruh aspek kehidupan kita, manusia, untuk semakin bergerak cepat menuju "teknopoli”. Menggunakan teknik dokumenter esai visual, manusia akan mengeksplorasi konsekuensi yang tak diinginkan dari kemajuan teknologi. Hal ini membuat kita kembali bertanya-tanya: “Apakah benar bahwa kemajuan teknologi akan mengarah pada perbaikan kualitas hidup?” Pertanyaan lain yang lebih mendasar pun muncul: “Apakah teknologi merupakan ekspresi kemanusiaan kita? Atau sebaliknya, apakah teknologi malah justru menghancurkan kemanusiaan kita?”

bottom of page